Saturday, November 3, 2012

Teori Resepsi Sastra


A.     Pengertian
Resepsi berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris) yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas yaitu, pengolahan teks dan cara-cara pemberian makna terhadap karya sastra, sehingga memberikan respon terhadapnya. Aliran sastra ini meneliti teks sastra dengan mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan pada karya sastra. Endaswara (2003:118) mengemukakan bahwa resepsi berarti menerima atau penikmatan karya sastra oleh pembaca. Resepsi merupakan aliran yang meneliti teks sastra dengan bertitik tolak kepada pembaca dengan memberi reaksi atau tanggapan terhadap teks itu. Dalam meresepsi sebuah karya sastra bukan hanya makna tunggal, tetapi memiliki makna lain yang akan memperkaya karya sastra itu.
Penelitian resepsi sastra pada dasarnya merupakan penyelidikan reaksi pembaca terhadap teks sastra (Endraswara, 2003:119). Sejalan dengan pendapat Ingarden (dalam Taum, 1997:57), bahwa setiap karya sastra prinsipnya belum lengkap karena hanya menghadirkan bentuk skematik dan sejumlah “tempat tampa batas” yang perlu dilengkapi secara individual menurut pengalamannya akan karya-karya sastra lain.
Reaksi-reaksi yang ditimbulkan oleh pembaca (penonton) terhadap karya sastra dapat ditanggapi dengan positif atau sebaliknya. Tanggapan  (sambutan) pembaca pada dasarnya akan sampai pada pemaknaan karya sastra itu sendiri. Namun, sejauh kelengkapan teks sastra tersebut tidak pernah sempurna, maka yang harus dilakukan adalah dengan melengkapi stuktur karya sastra itu oleh pembaca dengan melakukan konkretisasi (penyelarasan atau pengisian makna oleh pembaca).
Dari reaksi pembaca yang berbeda-beda memungkinkan pembaca akan memberi penilaian pada karya sastra dengan memanfaatkan kode-kode tertentu menurut pemahamannya (Endraswara, 2003:120). Partisipan pembaca dalam pemaknaan teks sastra memang sangat diharapkan, karena sebuah teks sastra memungkinkan terdapat lubang-lubang kosong yang dapat diisi oleh pembaca dengan pemahanannya sendiri. Penelitian resepsi hadir karena teks sastra bersifat tidak stabil, melainkan berubah-ubah sesuai dengan pembacanya. Hal ini memberi gambaran bahwa teks sastra bersifat dinamis. Teks sastra bermakna tergantung pada pembaca atau penerimanya.
a.      Hans Robert Jauss: Horison Harapan
Teori resepsi merupakan sebuah aplikasi historis dari tanggapan pembaca terutama berkembang di Jerman ketika H. R Jauss menerbitkan tulisan berjudul  Literary Theory as a Challenge ti Literary Theory. Dimana fokus perhatiannya pada penerimaan sebuah teks. Minat utamanya bukan pada tanggapan seorang pembaca tertentu pada suatu waktu tertentu melainkan pada perubahan-perubahan tenggapan, interprestai, dan evaluasi pembaca umum terhadap teks yang sama atau teks-teks yangberbeda dalam kurun waktu yang berbeda.
Melalui penelitian resepsi sastra, Jauss ingin merombak sejarah sastra masa itu yang terkesan hanya memaparkan sederetan pengarang dan jenis sastra. Jauss memperkenalkan pandangannya tentang resepsi yang tekenal, yaitu Horison Harapan (Horizon of Expectations) memungkinkan terjadinya penerimaan dan pengolahan dalam batin pembaca terhadap teks sastra. Dalam Horison Harapan Jauss membagi pembaca menjadi dua, yaitu bersifat estetik dan tak estetik (di luar teks sastra). Yang bersifat estetik berupa penerimaan unsur-unsur struktur pembangun karya sastra, seperti tema, alur, gaya bahasa, tokoh, dan sebagainya. Sedangkan, yang tak estetik, berupa sikap pembaca, situasi pembaca, dan sebagainya (dalam Endraswara, 2003:123)
Dalam bukunya yang berjudul Toward an Aesthetic of Recepton (dalam Taum, 1997:59-60) Jauss mengungkapkan tujuh tesisnya sebagai berikut:
1.    Karya sastra bukanlah monumen yang mengungkapkan makna yang satu dan sama, seperti halnya anggapan tradisional mengenai objektivitas sejarah sebagai deskripsi yang tertutup. Karya sastra ibarat orkestra: selalu memberikan kesempatan kepada pembaca untuk menghadirkan resonansi yang baru yang membebaskan teks sastra dari belenggu bahasa, dan menciptakan konteks yang dapat diterima pembaca masa kini. Sifat dialogal ini memungkinkan pembaca mengapropriasikan masa lampau untuk ditiru, diabaikan, atau ditolak.
2.    Sistem horison harapan pembaca timbul sebagai akibat adanya momen historis karya sastra, yang meliputi suatu pra-pemahaman mengenai genre, bentuk, dan tema dalam karya yang sudah diakrabi sebelumnya, dan dari pemahaman mengenai oposisi antara bahasa puitis dan bahasa sehari-hari. Sekalipun sebuah karya sastra tampak baru sama sekali, ia sesungguhnya tidak baru secara mutlak seolah-olah hadir dari kekosongan. Sastra telah memerpsiapkan pembacanya dalam sebuah sistem penerimaan yang khas melalui tanda-tanda dan kode-kode dalam perbandingan dengan hal yang sudah dikenal sebelumnya. Jadi, ada interaksi antara teks dengan konteks pengalaman pencerapan estetik bersifat tran-ssubjektif  itu.
3.    Jika ternyata masih ada jarak estetik antara horison harapan dengan wujud sebuah karya sastra yang baru, maka proses penerimaan dapat mengubah harapan itu baik melalui penyangkalan terhadap pengalaman estetik yang sudah dikenal atau melalui kesadaran bahwa sudah muncul suatu pengalaman estetik yang baru. Di sini dituntut dalam penerimaan sastra sebagaimana penerimaan seni pertunjukan, yang selalu memenuhi horison harapan sesuai dengan cita rasa keindahan, sentimen-sentimen, dan emosi yang sudah dikenal. Justru karya sastra yang adiluhung memiliki sifat artistik jarak estetik ini.
4.    Rekonstruksi mengenai horison harapan terhadap karya sastra sejak diciptakan atau disambut pada masa lampau hingga masa kini, akan menghasilkan berbagai varian resepsi dengan semangat jaman yang berbeda. Dengan demikian, pandangan platonis mengenai makna karya sastra yang objektis, tunggal dan abadi untuk semua penafsir perlu ditolak.
5.    Teori estetika penerimaan tidak hanya sekadar memahami makna dan bentuk karya sastra menurut pemahaman historis. Dia menuntut agar kita memasukkan sebuah karya individual ke dalam rangkaian sastra agar lebih dikenal posisi dan arti historisnya dalam konteks pengalaman sastra.
6.    Apabila pemahaman dan pemaknaan sebuah karya sastra menurut resepsi historis (dengan analisis diakronis) tidak dapat dilakukan karena adanya perubahan sikap estetik, sehingga seseorang dapat menggunakan perspektif sinkronis untuk dapat menggambarkan persamaan, perbedaan, pertentangan, atau hubungan antara sistem seni sezaman dengan sistem seni dalam masa lampau. Sebuah sejarah sastra akan menjadi mantap dalam pertemuan perspektif sinkronis dan diakronis. Jadi, sistem sinkronis tetap harus membuat masa lampau sebagai elemen struktural yang tak dapat dipisahkan.
7.    Tugas sejarah sastra tidak lengkap hanya dengan menghadirkan sistem-sistem pada karya sastra secara sinkronis dan diakronis, melainkan harus juga dikaitkan dengan sejarah umum. Kedudukan khas dan unik dari sejarah sastra perlu mendapat kepunuhannya dalam sejarah umum. Hubungan ini tidak berakhir dengan sekadar menemukan gambaran mengenai situasi sosial yang berlaku di dalam karya sastra. Fungsi sosial karya sastra hanya sungguh terwujud bila pengalaman sastra pembaca masuk ke dalam horison harapan mengenai kehidupannya yang praktis, membuat dirinya semakin memahami dunianya, dan akhirnya memiliki pengaruh kepada tingkah laku sosialnya.
b.      Wolfgang Iser: Pembaca Implisit
Wolfgang Iser mengemukakan teori resepsinya dalam bukunya yang berjudul The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Response (1978). Menurut Iser, tak ada yang menyangkal bahwa keberadaan pembaca dalam memberi penilaian terhadap karya sastra. Oleh karena itu, dalam observasi terhadap respon pembaca merupakan sebuah studi yang esensial. Iser  sendiri lebih menfokuskan perhatiann pada hubungan individual antara teks satsra dengan pembaca. Pembaca yang dimaksud oleh Iser adalah Implied Reader (pembaca implisit). Dikatakan pembaca implinsit karena merupakan suatu instansi di dalam teks sastra yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara teks sastra dengan pembacanya. Dengan kata lain, pembaca yang diciptakan oleh teks itu sendiri yang memungkinkan pembaca dalam membaca teks itu dengan cara tertentu (Taum, 1997:61).
Menurut Iser, karya sastra memilki dua kutub, yakni kutub artistik dan estetik. Kutub artistik merupakan kutub bagi pengarang, sedangkan kutub estetik merupakan realisasi yang diberikan kepada oleh pembaca. Selain itu, Iser mengungkapkan bahwa makna teks sastra tidaklah tetap melainkan dinamis, sesuai dengan pengalaman yang didapat oleh masing-masing pembaca. Tugas kritik sastra bagi Iser adalah menjelaskan potensi-potensi makna tampa membatasi diri pada aspek-aspek tertentu, karena makna teks bukalah sesuatu yang tetap melainkan sebagai peristiwa yang dinamis (a dynamic happening), dapat berubah-ubah sesuai pengalaman pembacanya (dalam Taum, 1997:61). Hal ini menunjukan bahwa pembaca teks sastra sesungguhnya berbeda, sehingga respon yang diberikan oleh pembaca juga berbeda (Endraswara, 2003:125). Perbedaan pengalaman pembaca sangat menentukan pemaknaan dan penerimaan teks sastra.
Menurut Iser, konsep tradisional mengenai pembaca selama ini umumnya mencakup dua kategori, yakni pembaca nyata atau pembaca historis (seperti yang dikemukan oleh Jauss) dan pembaca potensial atau pembaca yang diandaikan atau dihipotesiskan oleh pengarang. Maksud dari pembaca jenis kedua ini hanya mampu mengaktualisasikan sebuah teks sastra dalam konteks secara memadai.
Selain teori-teori tradisonal tersebut, terdapat beberapa pandangan yang lebih modern tentang pembaca, yang menurut Iser tidak bebas dari kesalahan.
1.    Michael Riffaterre memperkenalkan istilah superreader, yakni sintesis pengalaman membaca dari sejumlah pembaca dengan kompetensi yang berbeda-beda. Kelompok ini diharapkan dapat mengungkap potensi semantik dan pragmatik dari pesan teks melalui stilistika. Kesulitan akan muncul bila terdapat penyimpangan gaya, yang mungkin hanya dipahami dengan referensi lain di luar teks.
2.    Stanley Fish mengajukan istilah  informed reader (pembaca yang tahu, yang berkompeten), yang mirip dengan konsep Rifattere. Untuk menjadi seseorang pembaca yang berkompeten, diperlukan syarat-syarat: a) kemampuan dalam bidang bahasa, b) kemampuan semantik, c) kemampuan sastra. Melalui kemampuan-kemampuan ini seorang informed reader dapat merespon karya sastra. Teori ini tidak dapat diterima karena lebih berkaitan dengan teks daripada dengan pembacanya. Perubahan kalimat misalnya, lebih berkaitan dengan aturan gramatikal daripada pengalaman pembaca.
3.    Edwin Wolff mengusulkan  intended reader,  yakni model pembaca yang berada dalam benak penulis ketika dia merekonstruksikan idenya. Model pembaca ini mengacu kepada pembayangan seorang penulis tentang pembaca tulisannya melalui observasi akan norma dan nilai yang dianut masyarakat pembacanya. Pembaca ini akan mampu menangkap isyarat-isyarat tekstual.
Perhatikan bahwa teks sastra yang diciptakan seorang pengarang (dengan pandangan dunia kepengarangnya) mengandung empat perspektif, yakni pencerita, perwatakan, alur, serta bayangan mengenai pembaca (Taum, 1997:63). Artinya sebuah teks sastra dapat diperoleh jika keempat perspektif tersebut dapat ditemukan dalam aktivitas atau proses membaca. Jadi gambaran mental muncul selama proses membaca struktur teks sastra tersebut. Pemenuhan makna dalam teks sasttra terjadi dalam proses ideasi (pembayangan dalam benak pembaca) yang menerjemahkan realisasi teks ke dalam relitas pengalaman personal pembaca. Secara konkret, isi nyata dari gambaran mental itu dipengaruhi oleh gudang pengalaman pembaca sebagai latar refensial.
c.       Pembaca yang Diciptakan Teks
Dalam penelitian ini peneliti lebih condong dengan pendapat Iser yang menyatakan respon atau tanggapan pembaca sebelumnya telah dibuat oleh teks sastra itu sendiri. Maksudnya adalah kemampuan pembaca dalam pemaknaan dan penerimaan sebuah teks sastra (namun dalam penelitian ini objeknya adalah film) tergantung dari pengalaman pembaca. Sehingga, reaksi yang diberikan pembaca satu dengan yang lain berbeda-beda karena tingkat pengalaman pembaca tergantung seberapa sering mereka membaca karya-karya sastra.

3 comments:

Anonymous said...

boleh minta daftar pustakanya tidak ??
terimakasih .....

Anonymous said...

terimakasih banyak sudah mau berbagi :) god bless you :D

Anonime said...

terima kasih supportnya,
dukung terus.................

Post a Comment

 

Amine Voice © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates