A.
Pengertian
Resepsi
berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris) yang diartikan
sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas yaitu, pengolahan
teks dan cara-cara pemberian makna terhadap karya sastra, sehingga memberikan
respon terhadapnya. Aliran sastra ini meneliti teks sastra dengan
mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan pada karya
sastra. Endaswara (2003:118) mengemukakan bahwa resepsi berarti menerima atau penikmatan karya
sastra oleh pembaca. Resepsi merupakan aliran yang meneliti teks sastra dengan
bertitik tolak kepada pembaca dengan memberi reaksi atau tanggapan terhadap teks itu. Dalam
meresepsi sebuah karya sastra bukan hanya makna tunggal, tetapi memiliki makna
lain yang akan memperkaya karya sastra itu.
Penelitian
resepsi sastra pada dasarnya merupakan penyelidikan reaksi pembaca terhadap
teks sastra (Endraswara, 2003:119). Sejalan dengan pendapat Ingarden (dalam
Taum, 1997:57), bahwa setiap karya sastra prinsipnya belum lengkap karena hanya
menghadirkan bentuk skematik dan sejumlah “tempat tampa batas” yang perlu
dilengkapi secara individual menurut pengalamannya akan karya-karya sastra
lain.
Reaksi-reaksi
yang ditimbulkan oleh pembaca (penonton) terhadap karya sastra dapat ditanggapi
dengan positif atau sebaliknya. Tanggapan
(sambutan) pembaca pada dasarnya akan sampai pada pemaknaan karya sastra
itu sendiri. Namun, sejauh kelengkapan teks sastra tersebut tidak pernah
sempurna, maka yang harus dilakukan adalah dengan melengkapi stuktur karya sastra
itu oleh pembaca dengan melakukan konkretisasi (penyelarasan atau pengisian
makna oleh pembaca).
Dari
reaksi pembaca yang berbeda-beda memungkinkan pembaca akan memberi penilaian
pada karya sastra dengan memanfaatkan kode-kode tertentu menurut pemahamannya (Endraswara,
2003:120). Partisipan pembaca dalam pemaknaan teks sastra memang sangat
diharapkan, karena sebuah teks sastra memungkinkan terdapat lubang-lubang
kosong yang dapat diisi oleh pembaca dengan pemahanannya sendiri. Penelitian
resepsi hadir karena teks sastra bersifat tidak stabil, melainkan berubah-ubah
sesuai dengan pembacanya. Hal ini memberi gambaran bahwa teks sastra bersifat
dinamis. Teks sastra bermakna tergantung pada pembaca atau penerimanya.
a.
Hans
Robert Jauss: Horison Harapan
Teori
resepsi merupakan sebuah aplikasi historis dari tanggapan pembaca terutama
berkembang di Jerman ketika H. R Jauss menerbitkan tulisan berjudul Literary
Theory as a Challenge ti Literary Theory. Dimana fokus perhatiannya pada
penerimaan sebuah teks. Minat utamanya bukan pada tanggapan seorang pembaca
tertentu pada suatu waktu tertentu melainkan pada perubahan-perubahan
tenggapan, interprestai, dan evaluasi pembaca umum terhadap teks yang sama atau
teks-teks yangberbeda dalam kurun waktu yang berbeda.
Melalui
penelitian resepsi sastra, Jauss ingin merombak sejarah sastra masa itu yang
terkesan hanya memaparkan sederetan pengarang dan jenis sastra. Jauss
memperkenalkan pandangannya tentang resepsi yang tekenal, yaitu Horison Harapan
(Horizon of Expectations) memungkinkan
terjadinya penerimaan dan pengolahan dalam batin pembaca terhadap teks sastra.
Dalam Horison Harapan Jauss membagi pembaca menjadi dua, yaitu bersifat estetik
dan tak estetik (di luar teks sastra). Yang bersifat estetik berupa penerimaan
unsur-unsur struktur pembangun karya sastra, seperti tema, alur, gaya bahasa, tokoh, dan
sebagainya. Sedangkan, yang tak estetik, berupa sikap pembaca, situasi pembaca,
dan sebagainya (dalam Endraswara, 2003:123)
Dalam
bukunya yang berjudul Toward an Aesthetic
of Recepton (dalam Taum, 1997:59-60) Jauss mengungkapkan tujuh tesisnya
sebagai berikut:
1. Karya
sastra bukanlah monumen yang mengungkapkan makna yang satu dan sama, seperti
halnya anggapan tradisional mengenai objektivitas sejarah sebagai deskripsi
yang tertutup. Karya sastra ibarat orkestra: selalu memberikan kesempatan
kepada pembaca untuk menghadirkan resonansi yang baru yang membebaskan teks
sastra dari belenggu bahasa, dan menciptakan konteks yang dapat diterima
pembaca masa kini. Sifat dialogal ini memungkinkan pembaca mengapropriasikan
masa lampau untuk ditiru, diabaikan, atau ditolak.
2. Sistem
horison harapan pembaca timbul sebagai akibat adanya momen historis karya
sastra, yang meliputi suatu pra-pemahaman mengenai genre, bentuk, dan tema
dalam karya yang sudah diakrabi sebelumnya, dan dari pemahaman mengenai oposisi
antara bahasa puitis dan bahasa sehari-hari. Sekalipun sebuah karya sastra
tampak baru sama sekali, ia sesungguhnya tidak baru secara mutlak seolah-olah
hadir dari kekosongan. Sastra telah memerpsiapkan pembacanya dalam sebuah
sistem penerimaan yang khas melalui tanda-tanda dan kode-kode dalam
perbandingan dengan hal yang sudah dikenal sebelumnya. Jadi, ada interaksi
antara teks dengan konteks pengalaman pencerapan estetik bersifat tran-ssubjektif itu.
3. Jika
ternyata masih ada jarak estetik antara horison harapan dengan wujud sebuah
karya sastra yang baru, maka proses penerimaan dapat mengubah harapan itu baik
melalui penyangkalan terhadap pengalaman estetik yang sudah dikenal atau
melalui kesadaran bahwa sudah muncul suatu pengalaman estetik yang baru. Di
sini dituntut dalam penerimaan sastra sebagaimana penerimaan seni pertunjukan,
yang selalu memenuhi horison harapan sesuai dengan cita rasa keindahan,
sentimen-sentimen, dan emosi yang sudah dikenal. Justru karya sastra yang
adiluhung memiliki sifat artistik jarak estetik ini.
4. Rekonstruksi
mengenai horison harapan terhadap karya sastra sejak diciptakan atau disambut
pada masa lampau hingga masa kini, akan menghasilkan berbagai varian resepsi dengan
semangat jaman yang berbeda. Dengan demikian, pandangan platonis mengenai makna
karya sastra yang objektis, tunggal dan abadi untuk semua penafsir perlu
ditolak.
5. Teori
estetika penerimaan tidak hanya sekadar memahami makna dan bentuk karya sastra
menurut pemahaman historis. Dia menuntut agar kita memasukkan sebuah karya
individual ke dalam rangkaian sastra agar lebih dikenal posisi dan arti
historisnya dalam konteks pengalaman sastra.
6. Apabila
pemahaman dan pemaknaan sebuah karya sastra menurut resepsi historis (dengan
analisis diakronis) tidak dapat dilakukan karena adanya perubahan sikap
estetik, sehingga seseorang dapat menggunakan perspektif sinkronis untuk dapat
menggambarkan persamaan, perbedaan, pertentangan, atau hubungan antara sistem
seni sezaman dengan sistem seni dalam masa lampau. Sebuah sejarah sastra akan
menjadi mantap dalam pertemuan perspektif sinkronis dan diakronis. Jadi, sistem
sinkronis tetap harus membuat
masa lampau sebagai elemen struktural yang tak dapat dipisahkan.
7. Tugas
sejarah sastra tidak lengkap hanya dengan menghadirkan sistem-sistem pada karya
sastra secara sinkronis dan diakronis, melainkan harus juga dikaitkan dengan
sejarah umum. Kedudukan khas dan unik dari sejarah sastra perlu mendapat
kepunuhannya dalam sejarah umum. Hubungan ini tidak berakhir dengan sekadar
menemukan gambaran mengenai situasi sosial yang berlaku di dalam karya sastra.
Fungsi sosial karya sastra hanya sungguh terwujud bila pengalaman sastra
pembaca masuk ke dalam horison harapan mengenai kehidupannya yang praktis,
membuat dirinya semakin memahami dunianya, dan akhirnya memiliki pengaruh
kepada tingkah laku sosialnya.
b.
Wolfgang
Iser: Pembaca Implisit
Wolfgang
Iser mengemukakan teori resepsinya dalam bukunya yang berjudul The Act of Reading: A Theory of Aesthetic
Response (1978). Menurut Iser, tak ada yang menyangkal bahwa keberadaan
pembaca dalam memberi penilaian terhadap karya sastra. Oleh karena itu, dalam
observasi terhadap respon pembaca merupakan sebuah studi yang esensial.
Iser sendiri lebih menfokuskan
perhatiann pada hubungan individual antara teks satsra dengan pembaca. Pembaca
yang dimaksud oleh Iser adalah Implied
Reader (pembaca implisit). Dikatakan pembaca implinsit karena merupakan
suatu instansi di dalam teks sastra yang memungkinkan terjadinya komunikasi
antara teks sastra dengan pembacanya. Dengan kata lain, pembaca yang diciptakan
oleh teks itu sendiri yang memungkinkan pembaca dalam membaca teks itu dengan
cara tertentu (Taum, 1997:61).
Menurut
Iser, karya sastra memilki dua kutub, yakni kutub artistik dan estetik. Kutub
artistik merupakan kutub bagi pengarang, sedangkan kutub estetik merupakan
realisasi yang diberikan kepada oleh pembaca. Selain itu, Iser mengungkapkan
bahwa makna teks sastra tidaklah tetap melainkan dinamis, sesuai dengan
pengalaman yang didapat oleh masing-masing pembaca. Tugas kritik sastra bagi
Iser adalah menjelaskan potensi-potensi makna tampa membatasi diri pada aspek-aspek
tertentu, karena makna teks bukalah sesuatu yang tetap melainkan sebagai
peristiwa yang dinamis (a dynamic
happening), dapat berubah-ubah sesuai pengalaman pembacanya (dalam Taum,
1997:61). Hal ini menunjukan bahwa pembaca teks sastra sesungguhnya berbeda,
sehingga respon yang diberikan oleh pembaca juga berbeda (Endraswara,
2003:125). Perbedaan pengalaman pembaca sangat menentukan pemaknaan dan
penerimaan teks sastra.
Menurut
Iser, konsep tradisional mengenai pembaca selama ini umumnya mencakup dua
kategori, yakni pembaca nyata atau pembaca historis (seperti yang dikemukan
oleh Jauss) dan pembaca potensial atau pembaca yang diandaikan atau
dihipotesiskan oleh pengarang. Maksud dari pembaca jenis kedua ini hanya mampu
mengaktualisasikan sebuah teks sastra dalam konteks secara memadai.
Selain
teori-teori tradisonal tersebut, terdapat beberapa pandangan yang lebih modern
tentang pembaca, yang menurut Iser tidak bebas dari kesalahan.
1. Michael
Riffaterre memperkenalkan istilah superreader, yakni sintesis pengalaman
membaca dari sejumlah pembaca dengan kompetensi yang berbeda-beda. Kelompok ini
diharapkan dapat mengungkap potensi semantik dan pragmatik dari pesan teks
melalui stilistika. Kesulitan akan muncul bila terdapat penyimpangan gaya, yang mungkin hanya
dipahami dengan referensi lain di luar teks.
2. Stanley
Fish mengajukan istilah informed reader
(pembaca yang tahu, yang berkompeten), yang mirip dengan konsep Rifattere.
Untuk menjadi seseorang pembaca yang berkompeten, diperlukan syarat-syarat: a)
kemampuan dalam bidang bahasa, b) kemampuan semantik, c) kemampuan sastra.
Melalui kemampuan-kemampuan ini seorang informed reader dapat merespon karya
sastra. Teori ini tidak dapat diterima karena lebih berkaitan dengan teks
daripada dengan pembacanya. Perubahan kalimat misalnya, lebih berkaitan dengan
aturan gramatikal daripada pengalaman pembaca.
3. Edwin
Wolff mengusulkan intended reader, yakni model pembaca yang berada dalam benak
penulis ketika dia merekonstruksikan idenya. Model
pembaca ini mengacu kepada pembayangan seorang penulis tentang pembaca
tulisannya melalui observasi akan norma dan nilai yang dianut masyarakat
pembacanya. Pembaca ini akan mampu menangkap isyarat-isyarat tekstual.
Perhatikan
bahwa teks sastra yang diciptakan seorang pengarang (dengan pandangan dunia
kepengarangnya) mengandung empat perspektif, yakni pencerita, perwatakan, alur,
serta bayangan mengenai pembaca (Taum, 1997:63). Artinya sebuah teks sastra
dapat diperoleh jika keempat perspektif tersebut dapat ditemukan dalam
aktivitas atau proses membaca. Jadi gambaran mental muncul selama proses
membaca struktur teks sastra tersebut. Pemenuhan makna dalam teks sasttra
terjadi dalam proses ideasi (pembayangan dalam benak pembaca) yang
menerjemahkan realisasi teks ke dalam relitas pengalaman personal pembaca.
Secara konkret, isi nyata dari gambaran mental itu dipengaruhi oleh gudang pengalaman
pembaca sebagai latar refensial.
c.
Pembaca
yang Diciptakan Teks
Dalam
penelitian ini peneliti lebih condong dengan pendapat Iser yang menyatakan
respon atau tanggapan pembaca sebelumnya telah dibuat oleh teks sastra itu
sendiri. Maksudnya adalah kemampuan pembaca dalam pemaknaan dan penerimaan
sebuah teks sastra (namun dalam penelitian ini objeknya adalah film) tergantung
dari pengalaman pembaca. Sehingga, reaksi yang diberikan pembaca satu dengan
yang lain berbeda-beda karena tingkat pengalaman pembaca tergantung seberapa
sering mereka membaca karya-karya sastra.
3 comments:
boleh minta daftar pustakanya tidak ??
terimakasih .....
terimakasih banyak sudah mau berbagi :) god bless you :D
terima kasih supportnya,
dukung terus.................
Post a Comment